Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

biografi eko patrio

Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio (lahir di Tanjunganom, Nganjuk, Jawa Timur, 30 Desember 1970; umur 40 tahun) adalah seorang pelawak yang pernah tergabung dalam kelompok Patrio. Ia dilahirkan dari pasangan ayah Sumarsono Mulyo dan Sumini.
Ketika masih SMA, tokoh kelahiran Kampung Kurung Lor ini membentuk kelompok lawak Seboel, singkatan dari "Sekelompok Bocah Eling", bersama Jejen dan Tejo. Mereka memenangkan sebuah lomba lawak yang diadakan Radio Suara Kejayaan. Sebagai penyiar radio, ia berkenalan dengan Miing atau Dedi Gumelar dari kelompok Bagito, ketiga anggota Warkop DKI, Ulfa Dwiyanti, Akri, dan Parto.
Setelah itu Tejo dan Jejen digantikan oleh Taufik Savalas dan Akri. Setelah Taufik keluar, kelompok Seboel dibubarkan dan Eko masuk Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk menuntut ilmu. Ketika ia lulus kuliah, ia kembali membentuk kelompok lawak baru bernama Patrio bersama Akri dan Parto. Kelompok ini kemudian muncul di Televisi Pendidikan Indonesia dengan acara Ngelaba, dan mulai terkenal.
Eko menikah dengan aktris Viona Rosalina pada 12 Oktober 2001. Dari perkawinan mereka dikaruniai tiga orang anak, masing-masing Syawal Adrevi Putra Purnomo, Naila Ayu, dan Cannavaro Adrevi Putra Purnomo.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

perjalanan karir eko patrio


   Eko Patrio (Bagian 1)
http://www.femina.co.id/archive/main/images/blank_10px.gif
    Masa kecil Eko Patrio sungguh berwarna. Karena badung, jail, dan tukang keluyuran, ia kenyang dipukuli orang tuanya. Tapi, untuk urusan sekolah, ternyata dia serius, lho.

Jika bicara soal keberuntungan hidup, Eko Patrio layak dijadikan contoh. Meski dididik dan dibesarkan di lingkungan yang carut-marut, ia mampu merampungkan sekolahnya di perguruan tinggi, menjadi selebriti terkenal, dan pengusaha sukses.

Dua anggota Patrio lainnya, Parto dan Akri, mengakui kelebihan sahabat mereka ini. "Eko punya energi yang besar. Ia juga bisa bergaul di semua lapisan masyarakat, mulai dari sesama artis sampai para pejabat," ujar Parto. Akri pun ikut memuji, "Eko selalu gigih dalam memperjuangkan ide-idenya demi kemajuan grup."

SI GOPUR YANG DOYAN KELUYURAN
Lahir pada 30 Desember 1970 di Kurung Lor, Tanjung Anom, sebuah kampung yang berjarak sekitar 10 kilometer dari kota Nganjuk, Jawa Timur, Eko merupakan sulung dari empat bersaudara (Lilis, salah seorang adiknya, telah meninggal dunia), putra apasangan Sumarsono Mulyo (65) dan Sumini (55). Sumarsono bekerja sebagai mandor di sebuah perusahaan konveksi, sementara Sumini penjahit di tempat yang sama. Setelah menikah, Mini berhenti bekerja.

Saat mengandung tiga bulan dan tengah menginap di rumah orang tuanya, Mini bermimpi aneh. "Saya disorot sinar matahari yang sangat menyilaukan. Meski sudah ngumpet di balik pohon, di kamar, atau di mana pun untuk menghindar, sinar itu terus mengikuti saya," kisahnya.

Awalnya, Mini khawatir akan makna mimpinya itu. Nasib apa gerangan yang akan menimpa anaknya nanti? "Ee..., ternyata jawabannya baru bisa saya dapatkan sekarang. Anak saya ini ternyata ditakdirkan jadi orang hebat! Hidupnya seperti matahari yang menerangi dunia," ujar Mini, bangga.

Ayahnya memberi nama Eko Indro Purnomo, dengan panggilan Eko. Tapi, karena Mini tak ingin anak sulungnya bernasib kurang baik seperti Pak Eko, satpam kenalannya di tempat kerja, maka ia mengubah nama panggilan itu dengan ’Gopur’ (diambil dari nama belakang ’Purnomo’). "Siapa tahu anak saya nantinya bisa menjadi menteri seperti Pak Abdul Gafur," ungkap Mini, polos.

Saat bayi Eko berusia 40 hari, kedua orang tuanya membawanya hijrah ke Jakarta. Awalnya mereka menumpang di rumah kerabat Mini di Kebon Pala, Tubagus Angke, Jakarta Barat. Di Jakarta, Sumarsono bekerja sebagai mandor pabrik. Setahun kemudian, barulah mereka mampu mengontrak sendiri rumah petak seharga Rp25.000 per bulan.

Mungkin, karena pengaruh lingkungan sekitar, Eko tumbuh sebagai anak yang badung dan gemar keluyuran. Ketika berusia 6 tahun, ia disekolahkan di SD Negeri 03 Pagi Teluk Gong, yang jaraknya sekitar 3 km dari rumah. Hampir setiap hari, Eko pulang dan pergi sekolah dengan berjalan kaki. Kadang-kadang ia menumpang mobil temannya yang datang dari keluarga kaya. "Imbalannya, saya memberinya contekan kalau ulangan. Biarpun badung, saya tergolong rada pintar. Jadi, otak saya bisa diobjekin," ujarnya, sambil tertawa lepas, yang menjadi ciri khasnya selama ini.

Setiap pulang sekolah, biasanya Eko langsung main ke luar rumah, dan baru pulang sekitar pukul 10 malam. Kendati begitu, ia tetap rajin belajar dan hampir tidak pernah membolos sekolah. Karena biasanya dia baru mulai belajar pukul 11 malam, ibunya ikut tidur larut malam untuk menemani anaknya belajar. Hebatnya, pagi harinya Eko nyaris tak pernah terlambat bangun. Sikapnya yang santai tapi serius ini membuat Eko tidak pernah tinggal kelas, lulus ujian SD dengan baik, dan berhasil masuk SMP favorit.

Di kalangan teman-temannya, Eko kecil juga terkenal iseng. Suatu hari, ketika baru berusia 11 tahun, Eko pernah ’hilang’. Ceritanya, suatu pagi Eko melihat sebuah mobil bak terbuka mondar-mandir di depan rumah seorang tetangganya yang baru saja selesai menggelar pesta. Saat mobil itu berhenti untuk kedua kali, diam-diam Eko naik ke bak belakang mobil itu. "Saya pikir, mobil itu pasti akan kembali lagi ke tempat yang sama. Ee, ternyata langsung bablas, dan tahu-tahu sudah sampai di Cianjur!" kenang Eko, geli.

Ketika akhirnya mobil berhenti, si sopir langsung pergi entah ke mana. Jadilah bocah 11 tahun ini bingung karena sendirian berada di tempat yang asing. Tapi, hebatnya, ia tidak menangis. Bak orang dewasa, matanya menyapu sekeliling tempat itu. Ternyata, ia berada tak jauh dari terminal bus antarkota.

Ia pun berjingkat turun dan berjalan kaki menuju terminal itu. Kebetulan, saat itu bus jurusan Cianjur-Jakarta tengah bersiap untuk berangkat. Tanpa pikir panjang, ia pun naik dan duduk begitu saja. Anehnya, ketika kondektur menarik ongkos penumpang, Eko dilewati begitu saja.

Begitu muncul di depan pintu rumah, bukannya dipeluk, Eko malah langsung dipukuli dan dicubiti oleh bapak-ibunya yang seharian resah mencarinya ke mana-mana. Merasa hukuman itu belum cukup, orang tuanya menyuruh Eko masuk ke kolong tempat tidur besi, dan disuruh tinggal di situ seharian tanpa makan dan minum. "Begitu keluar, wajahnya pucat pasi dan tubuhnya lemas. Kasihan sekali," kenang Yanti, adik bungsu Eko.
  
  TAK PERNAH LIBUR
Menurut Eko, keberhasilannya menjadi ’orang’ seperti saat ini, adalah kehendak-Nya dan juga berkat andil orang tuanya, terutama ibunya. "Meski hanya lulusan SMP, Ibu berhasil mengantar ketiga anaknya menjadi sarjana. Selain bekerja keras, sebagai orang Jawa Islam, Ibu sangat kuat nglakoni," papar Eko.

Nglakoni adalah suatu ritual mendekatkan diri kepada Tuhan, biasanya berupa puasa mutih (makanan tanpa garam untuk berbuka dan sahur) setiap Senin dan Kamis. "Selain itu, Ibu sering kali nglakoni tidur larut malam. Katanya, itu nasihat dari Kakek, agar rezeki keluarga terus mengalir," sambung Eko. Memang, Mini terbiasa berpuasa sejak usia 13 tahun atas anjuran ayahnya, Supardi bin Surorejo, yang di Jawa Timur, ini dikenal sebagai ’orang pintar’ yang mampu mengobati berbagai penyakit.

Agaknya, sifat suka bekerja keras Eko terbawa dari ibundanya. Sejak menikah, sang ibu sudah menyadari bahwa penghasilan suaminya sangat terbatas, sehingga ia pun tidak mau tinggal diam. Untuk menambah pendapatan, ia membuka warung kecil, yang dibangun di bagian depan rumah kontrakannya. Perlahan tapi pasti, usahanya berkembang, hingga akhirnya ia mampu membeli rumah tinggal sendiri di daerah itu.

Sementara itu, warungnya yang kian berkembang perlu tempat lebih besar. Mini pun merenovasi rumahnya menjadi bangunan bertingkat. Dua tahun kemudian, ia berhasil membeli sebuah rumah lagi, tapi kali ini ia kembangkan menjadi rumah-rumah petak untuk dikontrakkan. Beberapa tahun kemudian ia bisa membeli beberapa mobil baru Mitshubisi L-300. Tujuannya, untuk dikembangkan menjadi usaha angkot (angkutan kota).

Sekalipun kehidupan keluarga sudah cukup mapan, gaya hidup mereka tak berubah. "Meski duit banyak, hidup kami tetap saja sederhana, berpakaian seadanya, dan makan sekadarnya. Boro-boro ngurusin ulang tahun anak, hari Sabtu dan Minggu saja susah dibedain. Bapak dan Ibu hampir tidak pernah mengenal hari libur," papar Eko.

Bagi keluarga Eko, hanya ada dua saat istimewa dalam setahun, yaitu Lebaran dan kenaikan kelas. Di dua saat itu mereka dibelikan pakaian, juga tas dan buku-buku baru. Tapi, sebelum membeli buku tulis baru, Mini selalu mengumpulkan lembaran halaman kosong yang tersisa dari buku lama. Kumpulan kertas itu lalu diberi sampul cokelat baru sehingga terkesan seperti buku tulis baru. Kalau masih bisa dipakai, kan lumayan mengurangi biaya beli buku tulis baru.

"Sekali-sekalinya saya boleh memilih barang sendiri adalah waktu saya akan dikhitan. Saya diajak ke Pasar Glodok dan boleh memilih sendiri sarung, baju koko, kopiah, sepatu Kickers, dan game watch sesuai selera saya," ungkap Eko. Meski tanpa pesta, orang tuanya menyewakan video yang boleh ditonton beramai-ramai dengan teman-temannya. "Saya dibelikan sepeda balap baru, sepeda paling bagus di kampung saya waktu itu." tuturnya.

SUKA NYOLONG
Kebiasaan buruk Eko semasa kecil tidak hanya badung, tapi juga suka mencuri, meski untuk sekadar iseng. "Berapa pun uang saku yang dikasih Ibu, tidak ada pengaruhnya. Saya suka iseng nyolong jajanan, beramai-ramai dengan teman-teman. Saya ambil dua tusuk bakso kojak, lalu saya masukkan di kantong celana," kenangnya, geli.

Uniknya, Eko justru trenyuh saat melihat seorang tukang pempek tua berperut gendut yang setiap hari selalu kesulitan membuka warungnya. Eko sering datang membantu mengeluarkan panci-panci atau membantu mencuci piring. Hadiahnya, setiap hari dia diberi pempek gratis.

Meski hampir setiap hari dipukuli orang tuanya, Eko tetap saja badung. Suatu waktu ia mencuri belimbing milik tetangga. Entah bagaimana, si tetangga tahu bahwa pencurinya adalah Eko, lalu mengadukan hal itu kepada ibunya. Eko tak bisa mengelak saat ibunya menemukan belimbing itu. Dia pun langsung dipukuli ibunya.

Kata Eko, "Ibu saya itu kalau sudah marah memang gawat. Bukan cuma mulutnya yang nyerocos, tangannya pun langsung mukul dengan apa saja yang ada di dekatnya. Kalau di depannya ada ember, ya, embernya pecah. Kalau adanya sapu, ya, sapunya berantakan. Kalau adanya penggorengan, ya penggorengannya penyok. Bisa dibayangkan kan betapa kerasnya pukulan-pukulan itu," kisah Eko, sembari tertawa.

Lucunya lagi, meski pagar tetangga sudah ditinggikan dan dipasangi kawat berduri dan dialiri listrik, belimbing-belimbing itu tetap saja habis dicuri Eko. "Bersama teman saya, Bandi, saya curi belimbing-belimbing itu saat hujan turun dan mati listrik. Buah-buahan itu lalu saya buang ke kali! Saking jengkelnya, besoknya semua pohon belimbing itu ditebang habis oleh pemiliknya," katanya, sambil nyengir.

Sifat iseng Eko juga kumat saat ia melihat uang-uang logam hasil setoran angkot ibunya berceceran di mana-mana. Uang itu diambilnya, tapi tidak dibelanjakan, melainkan disimpannya di berbagai tempat di dalam dan luar rumah. Sebagian ia masukkan ke dalam kantong plastik, lalu dikubur di pinggir jalan dekat rumah. Sialnya, waktu ada penggalian tanah untuk pemasangan pipa PAM (perusahaan air minum), Eko mendapati tempat penyimpanan uangnya itu sudah lenyap.

Kebandelan Eko menjalar sampai di sekolah, bahkan ke masjid. Saking bandelnya, seorang gurunya di sekolah pernah menendangnya sampai ia terguling-guling. "Dan, setiap pulang salat Jumat, Mas Eko suka pakai sandal baru. Nah, dari mana datangnya sandal itu kalau tidak nyolong milik orang lain?" kisah Yanti, geli.

Bapak dan ibunya nyaris kewalahan menangani kenakalan anak sulungnya ini. Sampai-sampai mereka sempat berniat menitipkannya di panti anak-anak nakal di Tangerang. "Sampai sekarang pun, Mas Eko sering lupa mengembalikan barang yang dipinjamnya. Tapi, sepertinya sekarang kena hukum karma. Usahanya juga sering dicolongin orang!" sambung Yanti lagi.

Namun, Eko tidak pernah menyesali masa lalunya yang awut-awutan itu. "Dengan pengalaman hidup beragam seperti itu, saya justru bisa cepat menjiwai peran apa pun sesuai skenario yang diberikan kepada saya," ungkapnya, senang.
MELEJIT DENGAN PATRIO
Saat Eko menginjak bangku SMA, saat itu pulalah orang tuanya mulai bangkrut. Enam dari tujuh mobil angkot milik orang tuanya terpaksa dijual, toko merugi, peralatan rumah tangga pun nyaris ludes.

Akibatnya, ayah dan ibu Eko harus memulai usaha dari bawah lagi. Ayahnya berdagang buku di pasar, ibunya berjualan makanan di kantin pabrik dekat rumah dan membuka usaha pemutaran video anak-anak di rumah. Selain mengutip iuran Rp100 per anak, ia pun menjual makanan bagi para penonton cilik itu.

Meski hidup prihatin sudah menjadi kebiasaan keluarga ini, tak urung batin Eko terusik untuk berbuat sesuatu. Kebetulan, saat itu ia mulai menyadari bakat seni yang ada dalam dirinya. Pada tahun 1988, ia sudah sering mendapat honor untuk puisi dan gambar vignet karyanya yang berhasil dimuat di beberapa media massa.

Karena selama itu ia dikenal sebagai tukang membanyol di kalangan teman-temannya, Eko lalu membentuk grup lawak Seboel (kependekan dari ’Sekelompok Bocah Eling’), bersama kedua temannya, Jejen dan Tejo. Mereka mengikuti berbagai lomba di Jakarta dan Bandung, dan berhasil menjuarai beberapa di antaranya. Salah satunya adalah yang diselenggarakan oleh Radio Suara Kejayaan (SK).

Ketua panitia lomba, yang diikuti sekitar 200 pelajar dan mahasiswa, ini adalah Miing Bagito alias Deddy Gumelar, pelawak yang waktu itu sudah terkenal. Sedangkan dewan juri terdiri dari para anggota grup Warkop DKI, yaitu Kasino, Dono, dan Indro. Bermodalkan kemenangan itu, Eko diterima bekerja sebagai penyiar Radio SK. Ia pun lalu menjadi kenal lebih dekat dengan pelawak senior, seperti para anggota Warkop dan Bagito (Miing, Didin, Unang).
Eko juga meraih Juara I pada Lomba Baca Naskah Humor yang diadakan di Bandung. Dan, pada 1989, Seboel berhasil menjadi Juara II pada Lomba Lawak Nasional yang diadakan RRI-TVRI. Dalam acara ulang tahun TVRI, mereka tampil bersama Dorce Gamalama. "Tapi, setelah acara itu, nama Dorce melejit, sementara saya belum juga dikenal orang," kenang Eko, pahit.

Karena nama Seboel tak kunjung berkibar, akhirnya Tejo mengundurkan diri. Posisi Tejo lalu digantikan oleh Taufik Savalas dan Akri. Tapi, Taufik akhirnya juga berhenti. Di tahun 1993, Seboel resmi bubar. Jejen asyik main sinetron komedi, Akri aktif siaran di Radio SK, dan Eko berkonsentrasi pada kuliahnya di IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) sambil menjadi penyiar di Radio SK.

Jika dirunut dari awal, karier Eko sebagai penyiar sebenarnya berlangsung cukup mulus. Dari yang awalnya (1989) ia hanya diberi honor Rp40.000 untuk sekali siaran, ia berhasil meraup gaji tetap sejuta rupiah di tahun 1992. Eko pun kemudian ’dijodohkan’ dengan penyiar kondang Ulfa Dwi Yanthi untuk membawakan acara Batavia SK. Acara yang dikemas untuk ’ngerjain’ para selebriti ini ternyata sangat digemari pendengar. Terutama karena pembawaan segar kedua penyiarnya.

Meski sebagai penyiar radio namanya makin tenar, Eko tak melalaikan sekolahnya. Di tahun 1989, bersama dua teman kuliahnya, ia berhasil menjadi ’tiga besar’ yang lulus dari SMA 18. Meski sempat kecewa saat batal masuk perguruan tinggi favorit karena sakit cacar di saat ujian seleksi, ia akhirnya memilih IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Jakarta sebagai ladang menuntut ilmu. "Kalaupun misalnya saya berhasil masuk IPB, paling tinggi saya kan hanya bisa menjadi menteri pertanian. Sekarang, saya bisa jadi menteri apa saja, walaupun hanya di atas panggung," katanya, sembari ngakak.

Meneruskan sekolah ke jenjang S-1 ternyata hal yang tak mudah bagi Eko, mengingat kondisi keuangan ayah dan ibunya yang kembang-kempis saat itu. Untuk menutupi kekurangan biaya kuliah, ibunya bahkan terpaksa menjual satu-satunya mobil angkot yang tersisa. "Itu sebabnya, saya bertekad merampungkan kuliah untuk membalas pengorbanan orang tua saya," ujar Eko.

Sementara itu, kerinduannya untuk membentuk grup lawak kembali muncul. Selama beberapa tahun menjadi penyiar SK, ia amat menikmati persahabatannya dengan dua rekan sesama penyiar, yaitu Akri dan Parto. "Seandainya saya membentuk grup lawak dengan mereka, gimana, ya?" pikirnya. Setelah beberapa kali berembuk, mereka bertiga pun sepakat mendirikan grup lawak baru.

Tanggal 10 Oktober 1994, mereka memproklamirkan berdirinya Patrio, yang merupakan kependekan nama mereka: Parto, Akri, dan Eko. Kebetulan, saat itu tak banyak grup lawak ternama yang muncul di teve. Mereka bertiga pun lalu giat mempelajari ’pasar komedi’ yang ada saat itu. "Melawak bukan hanya sekadar pintar melucu. Ibarat sebuah produk, kami harus tepat menilai pasar. Trademark pun harus jelas, dan setiap saat harus terus dikibarkan. Agar awet, kami pun harus pandai ber-sikap, bersiasat, dan menempatkan diri," tegas Eko, membagi kiat.

Setelah menetapkan kaum remaja sebagai target pemirsa, Patrio menentukan karakter khusus bagi setiap anggotanya. Parto berperan ala remaja kampung yang baru datang ke kota, Akri menjadi remaja Betawi yang sok tahu, sementara Eko adalah anak Jakarta yang sok pintar, sok cakep, dan juga sok kaya. Mereka lantas bersepakat, berapa pun honor yang didapat, akan mereka bagi rata menjadi empat. Masing-masing orang mendapatkan seperempat bagian, sedangkan sisanya digunakan untuk keperluan manajemen grup.

Pada April 1995, nama Patrio kian dikenal. Salah satu yang mencium ’bau uang’ dari keberadaan kelompok ini adalah sebuah stasiun televisi swasta, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Setelah menyaksikan sebuah nomor contoh siaran, TPI langsung mengontrak Patrio untuk mengisi acara komedi berdurasi 25 menit berjudul Ngelaba, dengan honor satu juta rupiah per episode.

KONTRAK SATU MILIAR
Eko berkisah, Patrio sempat nervous juga saat pertama kali Ngelaba ditayangkan sebagai acara teve malam hari. Karena, saat itu rating TPI umumnya lebih tinggi pada program siang hari. "Di luar dugaan, Ngelaba ternyata sukses besar, bahkan berhasil jadi sebuah ikon baru. Patrio jadi terkenal karena TPI. Sebaliknya, siaran malam TPI menjadi lebih hidup setelah ada Ngelaba," kenang Eko, dengan mata berbinar.

Setelah masa kontrak pertama berakhir, langsung dilanjutkan dengan kontrak kedua dan selanjutnya, yang berlangsung hingga kini. Bahkan, beberapa tahun lalu, jumlah kontrak Patrio di TPI mencapai 1 miliar rupiah untuk masa satu tahun (52 episode). Kabarnya, kini jumlah kontrak Patrio untuk Ngelaba, sudah jauh melewati 1 M. "Sekarang, honor kami hampir 100 kali lipat dari honor pertama. Dan, sekali manggung, tarif kami minimal 35 juta rupiah," papar Eko terus terang, dengan nada jauh dari sombong.

Tak disangsikan lagi, penampilan trio kocak itu membawa angin segar bagi dunia lawak televisi saat itu. Apalagi, dalam setiap tayangan selalu ditampilkan bintang-bintang tamu, seperti Dian Nitami, Yuni Shara, Krisdayanti, dan sebagainya.

Sejak itu, tawaran manggung makin melimpah, sementara tawaran main sinetron komedi mulai berdatangan. Kesempatan emas itu tak disia-siakan Parto dan Akri. Agar tidak mengundang masalah, mereka pun menyusun kesepakatan baru. Isinya, anggota Patrio bebas untuk menerima kontrak kerja dari sumber lain, asalkan tidak mengganggu jadwal kerja Patrio di TPI.

Sementara kedua rekannya sudah mulai merambah ke dunia lain, Eko memilih untuk terus berkutat di kampus, karena ia bertekad untuk menyelesaikan jenjang S-1. Godaan terberat justru datang ketika Eko tengah merampungkan skripsinya. Tawaran kerja menjadi MC dan pemain sinetron datang bertubi-tubi. Tentu pilihan yang tidak mudah, karena bila ia terlalu sering menolak, selain menampik rezeki, juga berisiko popularitasnya menurun.

Namun, Eko tetap pada pendiriannya. Ia membulatkan tekad agar bisa secepatnya mempersembahkan ijazah S-1 bagi kedua orang tuanya. Akhirnya, pada September 1996, Eko berhasil lulus kuliah, yang disusul oleh kedua adiknya, Wiwiek dan Yanti, yang juga berhasil meraih gelar sarjana untuk bidang ekonomi dan psikologi. Untuk memperdalam bidang sinematografi, di tahun 1997 Eko kuliah lagi di Institut Kesenian Jakarta. "Tapi, sampai sekarang belum selesai-selesai juga, nih," tuturnya, sambil nyengir.

Begitu lulus dari IISIP, Eko langsung tancap gas, mengejar kariernya yang sempat tertinggal. Tawaran untuk tampil rutin di acara infotainment, KISS (Kisah Seputar Selebritis), di salah satu teve swasta, disambarnya. Awalnya, ia diberi posisi bintang tamu, sementara presenter utamanya adalah Indra Safera. Setelah Indra mengundurkan diri, posisi itu diisi Anjasmara, sedangkan Eko lagi-lagi hanya sebagai bintang tamu. Baru pada 1998, setelah Cut Tari dan Jihan Fahira ikut memeriahkan KISS, Eko ditawari posisi presenter utama. Uniknya, Eko tidak langsung menerima. "Saya mau sekali menjadi presenter KISS, asal saya boleh mempertahankan style saya sendiri," paparnya.

Seiring dengan keberhasilan KISS ’ala’ Eko, rezeki pria yang suka kesulitan melafalkan huruf ’f’ (jadinya malah ’p’) ini mengalir bak air bah. "Tawaran datang dari Sabang sampai Merauke. Hingga akhirnya, di tahun 2001 saya terpaksa mundur dari KISS. Bayangkan, dalam sehari saya bisa tampil dua sampai tiga kali, di dua kota berbeda! Honor juga terus meningkat. Dari satu setengah juta, lima juta, sepuluh juta, dan seterusnya. Saya sendiri bingung, kok, mereka mau saja, ya, membayar honor setinggi itu," ujarnya, lugu.





Eko mengaku ’diracuni’ Sonny Tulung, ketika ia pertama kali mendirikan usaha warung tenda di daerah Kuningan, Jakarta Selatan, sekitar akhir 1998. Selain itu, kondisi ekonomi negeri ini yang sedang terpuruk, membuat hati Eko tergerak saat melihat banyak temannya duduk menganggur. Akhirnya, ia membuka sebuah warung makan berkapasitas 20 tempat duduk, dan menggaji 10 karyawan. Warung ini ia beri nama Komando, yang merupakan kependekan dari ’Eko - Makan - Doyan’. Namanya juga pelawak, makanan yang dijual pun berjudul aneh-aneh. Dua di antaranya adalah Nasi Goreng Kerusuhan dan Soto Tempur.

Sayangnya, setahun kemudian warung ini terkena gusur aparat ketertiban. Oleh karena itu, di tahun 1999, ia memindahkan usahanya ke sebuah area di samping sebuah mal, dan mengubah namanya menjadi Kafe Komando. Kafe ini menambah semarak suasana pusat jajanan yang kebanyakan dikelola para artis. Untuk mengimbangi kapasitas 150 tempat duduk yang tersedia, Eko menambah jumlah karyawan menjadi 20 orang dan mengucurkan modal segar sekitar Rp300 juta.

Pada tahun 2001, lagi-lagi usahanya itu terkena gusur. Di lokasi tempatnya berjualan akan dibangun sebuah pusat perdagangan. Demi mempertahankan nafkah para anak buahnya, Eko mendirikan sebuah rumah produksi, yang juga bernama Komando, kependekan dari Komunitas Humor Anak Indonesia. "Saya senang bisa memberi kesempatan pada orang lain untuk maju dalam hidupnya. Bukankah banyak di antara mereka yang tidak maju hanya karena belum punya kesempatan?" ungkapnya, kali ini dengan mimik serius.

Ucapan Eko memang bukan sekadar bunga mulut. Meski mungkin terkesan asal jadi, bahkan sebagian besar karyawannya bukanlah tenaga profesional, Komando mampu menghasilkan beberapa paket acara, antara lain Puasa Bareng Selebritis, Digoyang, dan Perkawinan Eko. Uniknya lagi, tak sedikit karyawannya yang mengikuti jejak Eko sebagai pelawak. Di antaranya, Kiwil, Jarwo, Yadi, dan Pakih.

CINTA PERTAMA, CIUMAN PERTAMA
Di tahun 1993, nama Eko kian melejit, dan rezekinya pun terus mengalir. Honor Patrio sudah ratusan juta rupiah per episode, demikian pula honor Eko sebagai bintang iklan dan pemain sinetron. Ditambah dengan penghasilannya sebagai presenter dan MC, di usia 29 tahun Eko sudah memiliki rumah, tanah, dan mobil mewah. Tinggal satu yang masih kurang. Kok, belum menikah juga?

"Habis, belum ada cewek yang mau," kilahnya, klise. Tapi, ibunya langsung menyanggah sambil tertawa keras, "Ah, kalau yang mau sama Eko, dari dulu mah, berjubel, ha...ha...ha.... Masalahnya, begitu saya bilang tidak setuju, mereka mundur. Sebaliknya, kalau saya setuju, Eko-nya yang nggak sreg. Akhirnya, ya, tidak jadi juga!"

Sang ibu kemudian berkisah tentang tingkah polah gadis-gadis pemuja anaknya tersebut. Ada yang selalu membawa oleh-oleh banyak sekali setiap kali berkunjung ("Kayaknya makanan dari toko dia beli semua," kata Mini, sambil terkekeh). Ada pula seorang gadis yang amat disukai Eko, sampai-sampai Eko nekat melanjutkan hubungan, meski dilarang keras oleh ibunya.

Sebenarnya, Eko sudah naksir si gadis sejak kelas 3 SMP, tapi baru berhasil menggaetnya setahun kemudian. Gadis yang merupakan putri seorang anggota militer sekaligus salah satu orang terkaya di kampungnya itu, begitu cantik dan santun di matanya. Itu sebabnya, awalnya ibu Eko tidak keberatan.

Tapi, karena si ayah gadis tidak menyetujui hubungan itu, Mini tersinggung dan berbalik sikap. Tapi, Eko rupanya nekat untuk terus berhubungan, meski sembunyi-sembunyi. "Suatu malam, Mas Eko pulang larut malam setelah pergi menonton film sama cewek itu. Karena hujan, Mas Eko merangkul si gadis agar terlindung di bawah payung. Melihat hal itu, Ibu yang sudah lama menunggu di depan rumah, jadi naik pitam. Mas Eko langsung digebukin dan digigit kupingnya oleh Ibu!" kisah Yanti.

Beruntung, kakak si gadis mendukung hubungan back street ini. Tak jarang, Eko menitipkan janji kencan melalui sang kakak. "Saat itu, dunia serasa hanya milik berdua, ha...ha...ha...," kenang Eko, geli.

Eko pun jadi rajin salat di masjid. Pasalnya, dengan demikian ia bisa lewat di depan rumah si gadis, sekaligus nampang alim. Selama Ramadan, mereka berdua selalu jalan beramai-ramai bersama teman-teman, sesekali bermain badminton. Mereka menyebut saat-saat pacaran itu dengan istilah ’asmara subuh’. "Yang paling berkesan, setelah lama pacaran, akhirnya saya berhasil menciumnya. Kejadiannya berlangsung di belakang masjid, menjelang larut malam. Pengalaman pertama nyium cewek itu menjadi suatu kenangan indah yang tak terlupakan bagi saya," sambung Eko, bernostalgia.

Menjelang akhir SMA, hubungan kedua sejoli ini merenggang. Penyebabnya, kesibukan Eko bersama Seboel dan sebagai penyiar Radio SK, begitu menyita waktu. Terlebih lagi, si gadis selalu kena marah orang tuanya setiap kali Eko menelepon ke rumah. "Entah bagaimana, tahu-tahu kami tidak lagi saling berhubungan," papar Eko.





DISANGKA BANCI
Untuk beberapa tahun kemudian, Eko ’kosong’ alias tak punya pacar. Meski pernah menjalin hubungan dekat dengan beberapa gadis teman kuliah, baginya hubungan itu tak seindah cinta pertamanya. Karena sudah berusia matang dan belum menikah, tak pelak Eko menjadi sasaran empuk penyebar gosip. Ada yang bilang, ia playboy yang selalu menghindari komitmen. Ada pula yang menuduhnya sebagai pria yang tak tertarik pada wanita, alias homo, alias banci!

Ayah dan ibunya tak kalah khawatir. Mereka pun sempat berpikir, jangan-jangan putra sulung mereka itu memang berbakat banci. Apalagi, bila sedang melawak atau jadi presenter, Eko memang sering sengaja bergaya gemulai. "Memang, sih, Mas Eko waktu kecil suka bercanda pakai baju-baju adik perempuannya. Kadang-kadang, ditambah celana dalam wanita dan BH juga. Tapi, itu cuma bercandaan dia di rumah. Buktinya, ia pernah pacaran dengan cewek anak tentara itu," papar Yanti.

Kedua adiknya memang amat mafhum akan kesulitan Eko mencari jodoh. Abang mereka satu-satunya itu ingin sekali mendapatkan pasangan hidup yang benar-benar ia cintai dan mencintainya, tapi sekaligus tak mau mengecewakan orang tuanya. "Meski sangat badung, dalam urusan yang satu ini Mas Eko tidak berani melawan Ibu. Apalagi, Ibu suka nyumpahin macam-macam kalau Mas Eko nekat meneruskan pacaran. Mas Eko kan jadi ngeri," kata Yanti.

Jodoh memang merupakan rahasia Ilahi. "Begitu Mbak Viona diperkenalkan kepada kami, eh, Ibu langsung setuju. Mas Eko senang sekali, dan segera melamar Mbak Viona," sambungnya lagi.

Jumpa pertama Eko dengan artis Viona Rosalinda (26) terjadi ketika keduanya menghadiri acara ulang tahun aktor Harry Capri. Setelah berkenalan, mereka pulang dengan gandengan masing-masing. Beberapa hari kemudian, Eko meminta Viona menjadi bintang tamu di acara Ngelaba. Meski syuting berlangsung sukses, Viona sempat sebal pada Eko. Pasalnya, Eko usil mengomentari bentuk tubuhnya yang, kata Eko, bak sebuah vespa. Bisikan usil yang disampaikannya pada Akri itu, tak sengaja sampai ke telinga Viona. Untungnya, Eko segera meminta maaf.

Sebulan kemudian, Mei 1999, mereka bertemu lagi di sebuah acara pernikahan cucu mantan orang nomor satu di negeri ini. Ketika itu, Viona baru saja putus hubungan dari pacarnya, dan berniat ingin menikah secepatnya jika sudah bertemu orang yang cocok. Eko yang mendengar pembicaraan Viona dengan bintang sinetron Cheche Kirani, langsung nimbrung sambil berujar, "Sama, dong. Aku juga maunya nggak pakai pacaran lagi, tapi langsung kawin, he...he...he...."

Seusai acara, Eko menawarkan diri untuk mengantarkan Viona pulang. Dalam perjalanan yang cukup singkat itu, Eko hanya sempat ngobrol tentang kuliah dan kegiatan Viona. Esoknya, Eko mengajak Viona jalan-jalan. Dan, sejak itulah cinta bersemi di antara mereka.

Dari awal, Viona sudah menegaskan bahwa ia tidak mau hubungan mereka terganjal oleh ketidaksetujuan pihak keluarga. Itu sebabnya, Eko cemas bukan main saat memperkenalkan Viona kepada ibunya. Ia sampai perlu mengatur strategi segala. Kebetulan, ia baru saja membeli rumah baru, dan kedua orang tua dan adiknya diajak untuk tinggal bersamanya. Eko mengajak Viona ke acara syukuran rumah baru itu, lalu dipertemukan dengan keluarganya itu. Hasilnya, kehadiran Viona mereka terima dengan tangan terbuka.

TETAP SEPERTI YANG DULU
Sebagai pasangan selebriti, kisah kasih Eko dan Viona menjadi santapan lezat media massa. Namun, mereka menyadari, hal itu adalah risiko yang harus dihadapi oleh semua figur publik. Akhirnya, setelah satu setengah tahun berpacaran, pada 12 Oktober 2001 mereka menikah dengan pesta meriah.

Usai menikah, Eko membeli satu rumah lagi untuk ditempati orang tuanya dan Yanti. Lokasinya tak jauh dari rumah yang ia tempati berdua saja dengan Viona. Sama seperti Eko, Viona juga amat gemar bepergian. "Saat Mas Eko mendapat job di luar kota, saya suka ikut. Selesai acara, kami jalan-jalan berdua ke tempat-tempat wisata di kota itu," tutur Viona.

Kekaguman Viona pada suaminya kian hari kian bertambah. "Meski sudah di puncak karier, dia tidak sombong. Mas Eko gigih dalam keinginannya untuk mencapai yang terbaik. Ia juga rajin berpuasa, terutama ketika saya hamil anak pertama, Sawal," ujar putri tunggal pasangan Mulyo Handoyo dan Lucia itu.

Parto, rekannya di Patrio, juga sepakat. "Sejak pertama kenal sampai sekarang, dia masih tetap seperti itu. Tidak bisa diam, ada saja yang dikerjakan. Dia seorang konseptor yang andal, hampir selalu mampu merealisasikan konsep yang dibuatnya. Eko juga selalu ingin perfect dalam mengerjakan segala sesuatu. Itu sebabnya, dia paling cerewet di antara kami bertiga," paparnya.

Rekannya yang lain, Akri, menambahkan, "Eko selalu punya keberanian dalam mewujudkan setiap keinginannya. Ia pun amat teguh pendirian. Terus terang, keberlangsungan Patrio sampai kini pun antara lain karena kerja keras dia. Menurut saya, setiap kelompok memang harus memiliki orang seperti Eko. Bagi Patrio, Eko bukan sekadar pemain, tapi juga sang penentu kebijakan."

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

biografi viona rosalina

Viona Rosalina (lahir di Jakarta, 4 Mei 1979; umur 32 tahun) adalah aktris asal Indonesia. Viona terjun ke dunai hiburan sejak masih kecil. Bahkan pada tahun 1990, Viona telah meraih Piala Citra sebagai pemeran anak-anak terbaik dalam film Cas Cis Cus. Film yang juga pernah dibintanginya adalah Si Badung (1989) dan Zig Zag (1991). Selain akting, Viona juga menjadi presenter. Acara yang pernah dipandunya antara lain Game Zone.
Viona mulai mengendurkan aktivitas di dunia hiburan sejak menikah dengan pelawak Eko Patrio pada tanggal 12 Oktober 2001. Dari pernikahan ini, putri sulung pasangan Mulyo Handoyo dan Lucia ini dikaruniai tiga anak, Syawal Adrevi Putra Purnomo, Nayla Ayu Adrefi Putri Purnomo, dan Cannavaro Adrevi Putra Purnomo. Selain mengurus keluarga dan anak-anak, Viona juga mengurusi beberapa bisnis yang masih tergabung dalam usaha milik suaminya, antara lain bisnis katering.
Pada tanggal 9 September 2006, saat hamil tujuh bulan, Viona resmi diwisuda menjadi sarjana Komunikasi dari Universitas Moestopo Beragama.[1]

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS